Sabtu, 12 Agustus 2017

Keragaman Alam Tampil Dalam Senandung Ibu Pertiwi 2017

Senandung Ibu Pertiwi yang menjadi tema pameran Kumpulan lukisan koleksi Istana di galeri nasional jakarta, sedang berlangsung. Banyak kisah menarik di balik setiap lukisan yang di pamerkan. Namun sebelum menuju kesana ada baiknya kita baca artikel seputar pameran tersebut di situs jadi mandiri.
Dalam pembahasan pada tulisan seputar Senandung Ibu Pertiwi, yang menjadi tema besar pameran koleksi lukisan istana, sebelumnya di blog ini sudah sekilas di bahas mengenai dinamika keseharian. Di tulisan sebelumnya dinamika keseharian di kemas dalam tema "karyadi", yang sedikit membahas seputar karyawan, karyawati dan karyadi. Karyawan ,karyawati dan karyadi sebetulnya juga tampil serta turut berpartisipasi dalam pameran lukisan istana di galeri Nasional hingga akhir bulan merdeka ini.

Keragaman alam Indonesia yang sangat majemuk juga tersajikan dalam pameran lukisan istana di galeri Nasional. Beberapa koleksi lukisan istana yang di tampilkan dalam Senandung Ibu Pertiwi juga menyiratkan tentang keindahan dan keragaman alam Indonesia. Bersama para netizen lainya pada Rabu 9 Agustus 2017, saya pun sempatkan menikmati beberapa karya legendaris yang menggambarkan keragaman alam.
Lukisan dengan judul terang bulan, sedikit banyak memberikan gambaran pemandangan alam negeri kita, Nyiur di pinggir pantai,  ombak yang bergulung-gulung, pepohonan rindang di antara jalan,  gunung yang tinggi, lembah yang curam, dan sawah luas dengan padi menguning serta ragam hal lainnya, seakan menyanyikan hal tersebut walau tanpa suara dan hanya bisa di resapi oleh mata.

Ragam gaya lukisan dari para pelukis ternama di tata dengan menarik di pameran lukisan yang bertemakan senandung ibu pertiwi ini. Salah satu gaya melukis yang banyak menyita perhatian pengunjung adalah karya karya lukisan dengan gaya melukis mooi indie.
Mooi Indie merupakan Kecenderungan melukis yang gejalanya Mengacu pada karya lukisan, S. Soejono Ds dengan judul Jalan di Tepi Sawah (On the Edge of a Rice Field)
tahun 1958. Lukisan ini tertuang dalam cat minyak pada kanvas dengan ukuran 133 x 200 cm.
Dalam perhelatan seni rupa modern di Indonesia, lukisan dengan ciri atau kesamaan tema seperti jalan di tepi sawah ini, di identitaskan sebagai gaya melukis Mooi Indie.Mooi Indie nampak sekitar abad 19, diawali oleh pelukis-pelukis Eropa yang berkarya dan menetap di Hindia Belanda. 
Lalu kemudian dan setelah itu, dikembangkan oleh pelukis Raden Saleh, kemudian Abdullah Suriosubroto, Wakidi, Basoeki Abdullah, dan seterusnya. Jadi inget kan waktu kita SD dulu, kita kalo melukis jalanan pinggir sawah seperti ini.

Lukisan harimau minum menampilkan suasana alam mistis, dramatis,  dan warna cenderung redup. Pelukis ini lama menetap dan berkarya di Eropa. Di Perancis, ia menyaksikan karya-karya besar pelukis Theodore Gericault, Eugene Delacroix, dan lain sebagainya, yang karya-karyanya selalu bertemakan heroik, dramatik, dan dalam ukuran besar.
Senandung ibu pertiwi di galeri Nasional juga menyajikan lukisan berukuran besar, satu di antaranya ditampilkan dalam pameran ini, lukisan dengan judul Harimau Minum (1863), karya Raden Saleh itu juga ada dalam pameran tersebut.

Ketajaman kamera di era digital saat ini, mungkin saja berasal atau terinspirasi dari ketajaman daya rekam pelukis yang bisa menggambarkan suatu keadaan di sekitarnya.  Pelukis legendaris, Wakidi dengan Senja di Dataran Mahat (1954) menghadirkan suasana alam berbukit-bukit, yang menjadi salah satu obyek kegemarannya. Banyak yang kagum tentunya dengan karya pelukis naturalis ini, yang berusaha merekam suasana dan pemandangan alam  hingga bisa menggambarkan mirip seperti aslinya.
Dalam berbagai karya lukis serupa ini, sepertinya wakidi berupaya menggambarkan daerah kelahirannya di Sumatra yang menyimpan segala keindahan: gunung gemunung, pantai gemulai, danau meranau, hutan merutan, lereng-lereng, dan bukit bebukitan. Melalui tangan terampil dan mata setajam kamera, ia merekam keindahan alam Sumatra Barat nun jauh di sana hingga bisa tersajikan dalam kanvas.

Selain keragaman alam pedesaan, situasi di kota besar atau ibukota jakarta pun turut tampil juga dalam beberapa lukisan yang di pamerkan. Bagi kita yang tinggal di jakarta saat ini, tentu merasakan hal yang berbeda bila kita bercerita dengan orang tua kita yang merasakan kondisi jakarta di masa perjuangan dahulu. Atau jakarta tempoe doeloe.
Jakarta Tempo dulu juga bisa kita simak penggambarannya dalam karyadi para pelukis yang menjadi koleksi lukisan istana dalam pameran lukisan Senandung Ibu Pertiwi. Salah satunya adalah karya Ernest Dezentje.
 
Ernest Dezentje, pelukis Indo-Belanda merekam Pemandangan di Sudut Kota Jakarta. Hal serupa bisa kita dapat juga pada karya pelukis lainnya seperti: S. Toetoer melukis Di Sungai Ciliwung, Pelukis Henk Ngantung membentangkan kanvasnya dan melukis Pemandangan di Sulawesi. Putra Manado itu, belakangan hijrah ke Ibu Kota RI, dan pernah menjadi Gubernur DKI di masa Bung Karno, antara 1964 hingga 1965.
Lukisan yang tampil di bagian dekat pintu masuk pameran banyak menyimpan cerita dan kisah. Baik dalam pembuatannya maupun proses perawatan nya sampai dengan saat ini.
Dibalik lukisan pantai Flores, ternyata menyimpan kisah unik. Lukisan ini di buat padahal sang pelukis belum pernah berkunjung ke tempat tersebut. Otak manusia canggih juga yah. Maka kita ga heran kalo sekarang ini ada ahli sketsa wajah yang mampu menggambarkan wajah seseorang hanya berdasarkan gambaran atau daya ingat orang lain. Yang jelas keahlian tersebut pasti ada ilmu acuan nya. Atau rumus tertentu. Lukisan Pantai Flores (1942) ini. yang semula cat air di atas kertas karya Bung Karno, atas permintaannya pada Basoeki Abdullah disalin kembali dalam lukisan cat minyak di atas kanvas.  
 
 Lukisan Pantai Flores, yang merupakan potret pemandangan Flores yang indah, direkam Bung Karno semasa menjalani hukuman pengasingan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. kemudian di lukis dengan cat air oleh bung Karno pada saat itu. Lalu di salin ulang oleh Basoeki Abdullah dalam bentangan kanvas dengan cat minyak.

Ragam lukisan seputar keragaman alam yang di pamerkan dalam galeri nasional di acara senandung ibu pertiwi kali ini, rata rata merupakan lukisan yang sering kali gaya melukisnya sangat populer sampai dengan saat ini.
Abdullah Suriosubroto melukis Pemandangan Sekitar Merapi (1930). Ini lukisan yang paling legendaris sob. Sampai dengan saat ini anak anak pun jika menggambar gunung atau perbukitan, pola atau gambarannya seperti ini. Istilahnya sudah jadi SOP tak tertulis kalo gambar pemandangan alam pegunungan, bikin nya seperti ini. Iya kan,... 😁 

Pemandangan alam di kawasan Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, juga banyak menginspirasi para pelukis. 
Abdullah Suriosubroto melukis Pemandangan Sekitar Merapi (1930). Mas Pirngadi melukis Pantai Pelabuhan Ratu (1927). Kartono Yudhokusumo melukis panorama Dieng di bawah judul Bertamasya ke Dieng (1949). 
Masih banyak lagi lukisan seputar keragaman alam yang belum di bahas di sini. Bagi para pembaca yang penasaran ingin menyaksikan secara langsung, Ayo ke Galei nasional sebelum terlambat. Yuk buruan ya, Siapa cepat dia tak terlambat. Mari menghadiri Senandung Ibu Pertiwi Di galeri nasional Indonesia hingga akhir bulan ini
Sumber Info Katalog Senandung Ibu Pertiwi